Minggu, 26 September 2010

Sejarah Persijap


pada 28 Agustus 1973, di Salatiga digelar partai puncak perebutan Piala Makutarama. Dua tim bertetangga dari daerah pesisir utara Pulau Jawa, Persijap Jepara dan Persipa Pati berjuang mati-matian untuk menjadi juara.

Langit cerah, dan tak ada pertanda hujan akan turun saat wasit Dardiri asal Salatiga meniup peluit isyarat kick off babak pertama dimulai. Di babak pertama, Kamal Djunaidi, seorang striker muda Persijap menunjukkan kelasnya sebagai ujung tombak tim. Gerakannya lincah, agresif, dan variatif. Suatu saat di babak pertama itu, tendangannya menggetarkan jala lawan, dan kedudukan tetap 1-0 hingga 45 menit pertama berakhir.

Ketika kaki Syarief KS, kapten tim Persijap, menggelindingkan bola kick off babak kedua, langit gelap oleh mendung yang menggelayut. Suara halilintar datang bertubi, memekakkan ribuan pasang telinga yang memadati stadion. Saat itulah, di lapangan terlihat api berkobar.

Hampir semua pemain tergeletak, termasuk wasit Dardiri. Syarif KS masih berdiri terpaku, tak mafhum apa yang baru saja terjadi. Tubuh Kamal Djunaidi yang semula lincah terlihat mengepulkan asap. Kaus kaki, sepatu, dan celananya terkoyak api. Tujuh anggota skuad Persijap lainnya luka bakar parah. Hanya Kamal Djunaidi, pemuda asal Kelurahan Panggang yang meninggal di tengah lapangan. Api halilintar itu mengakhiri kariernya di tim yang sangat dicintainya.

Tapi, hembusan nafas terakhirnya menorehkan prestasi gemilang. Kedudukan 1-0 itu membuat Persijap berhak memboyong Piala Makutarama. Nama Kamal Djunaidi kemudian diabadikan menjadi nama stadion untuk mengenang pengorbanan, spirit, sekaligus prestasi yang pernah diukir pahlawan bola bagi masyarakat Jepara tersebut.

Tak hanya itu, tulisan Diego de Ceuto asal Portugis tentang perjuangan Ratu Kalinyamat mengusir penjajah pada 1550 juga menjadi inspirasi bagi klub berkostum merah merah tersebut. Ratu Kalinyamat merupakan putri
Sultan Trenggono dari Demak. Dia terkenal sebagai ratu yang gagah berani dan rupawan serta memiliki jiwa patriotiksme antipenjajah. Hal itu dibuktikan dengan pengiriman armada perangnya ke Malaka guna menggempur Portugis pada tahun 1551 dan tahun 1574. Sekitar 2.000 dari 4.000 prajurit Ratu Kalinyamat gugur. Mereka berani mati untuk sebuah perjuangan.

Atas keberaniannya itu, maka bangsa Portugis lantas menyebut Sang Ratu Kalinyamat sebagai De Krange Dame atau wanita yang gagah berani. Bahkan seorang penulis bangsa Portugis dalam bukunya Da Asia menyebut diri
Ratu Kalinyamat sebagai Rainha de Jepara , senhora Poderosa e rice (Raja Jepara, seorang perempuan yang kaya dan mempunyai kekuasaan besar). Sekarang, nama Ratu Kalinyamat digunakan sebagai julukan tim dari kota ukir tersebut.

Memang,selain terkenal sebagai kota kerajinan ukir kayu, sudah sejak lama kota Jepara dikenal memiliki publik yang sangat antusias dan bersemangat dengan sepakbola. Tak mengherankan, jika sejak Persijap berdiri pada tahun 1960, tim ini selalu mendapat dukungan yang kuat dari masyarakat Jepara.

Prestasi Persijap cukup mengkilat di tingkat yunior dengan keberhasilan tim yunior mereka beberapa kali menjadi juara Piala Suratin pada tahun 1982, 1998, dan 2002. Sayang di tingkat senior, prestasi Persijap belum mengesankan. Persijap merupakan tim yang sejak lama berkutat dengan kompetisi Divisi I Liga Indonesia.

Baru pada pentas Divisi I Liga Indonesia 1999/2000 Persijap berhasil merengkuh tiket promosi. Persijap berhasil menjuarai Grup Tengah I mengungguli Perseden, Mitra Surabaya, PSJS, dan Perserang, untuk lolos ke babak 8 besar. Bertanding di depan publik sendiri, Persijap berhasil menduduki peringkat 2 Grup B Babak 8 Besar untuk memastikan promosi ke Divisi Utama. Persijap akhirnya hanya menempati peringkat keempat setelah pada semifinal yang digelar di Stadion Benteng, Persijap dikalahkan Persita Tangerang, dan kalah dari Persikabo Bogor dalam perebutan tempat ketiga.

Sayangnya aksi Persijap di Divisi Utama Liga Indonesia 2001 hanya berlangsung setahun. Diwarnai dengan pergantian pelatih, Persijap harus kembali ke Divisi I setelah terpaut dua poin setelah hanya menempati peringkat ke-12 dari 14 peserta. Tak mau menyerah, Persijap berusaha keras untuk kembali naik ke Divisi Utama dengan persiapan tim yang matang dan perekrutan pemain yang berpengalaman. Selama tiga tahun berturut-turut Persijap selalu disegani di Divisi I, dan lolos dari penyisihan grup. Sayang prestasi Persijap selalu mentok di babak penentuan.

Perubahan jumlah peserta Divisi Utama pada Liga Indonesia memberikan berkah bagi Persijap. Tiket promosi gratis diberikan oleh PSSI, sehingga Persijap kembali berlaga di kasta tertinggi sepakbola Indonesia. Langkah Persijap tidak terlalu menggembirakan, dan terseok seok menghadapi persaingan di Liga Indonesia. Beruntung di saat saat akhir, Persijap berhasil lepas dari bayangan suram degradasi pada tahun 2001.

Tidak ada komentar: